Oleh Ki Dadang
Pameungpeuk Bandung 2014
Introduksi
Iket, Totopong, atau Udeng adalah tutup kepala dari bahan kain segi empat dengan corak khas kultur dan budaya asal iket tersebut. Memakainya dengan cara dilipat dan diikat melingkar di kepala. Iket dan totopong adalah istilah Sunda sedangkan udeng adalah istilah Bali. Dulu warna iket terbatas hanya putih dan hitam tetapi seiring perkembangan budaya, mode, dan fashion kini iket dibuat dalam beragam warna, motif, dan corak.
Sekilas fungsi utama iket atau udeng adalah sebagai sebagai pelindung dan penutup kepala dari panas matahari, angin, dan cuaca buruk lain. Bahkan kini fungsi iket sedikit bergeser menjadi mode dan pelengkap atau aksesoris busana tradisional.
Kalau kita lihat sejarah iket, fungsi iket bukan sekedar itu tetapi mengandung makna yang dalam (silakan dibaca filosofi iket). Eksistansi iket harus terus dilestarikan sehingga tetap dikenal oleh anak-anak muda generasi penerus yang sebelumnya sudah turun temurun. Jangan sampai mereka tidak tahu apa itu iket, apa itu udeng.
Dulu, iket biasa dipakai bukan saja oleh para petani dan masyarakat pada umumnnya tetapi juga dipakai oleh pejabat-pejabat kerajaan zaman dulu yang dipakai sesuai fungsi atau jabatan pekerjaan masing-masing dan bukan berdasarkan kasta atau status sosial seseorang di mata masyarakat karena suku Sunda dari dulu tidak mengenal kasta sesuai dengan namanaya Padjadjaran (Pajajaran) yang berarti persejajaran atau sejajar. Artinya setiap orang mempunyai jabatan tertinggi pada profesisnya masing-masing.
Contoh sederhana, orang yang biasa bergelut di bidang beladiri (jawara) seperti para guru beladiri pencak silat, mande, dan beladiri lainnya biasa menggunakan iket model Barangbang Semplak, Ki Lengser yang bertugas menghibur dan menyambut para tamu undangan di pesta-pesta tradisional biasa mengenakan model iket Julang Ngapak, demikian juga dengan posisi dan fungsi pekerjaan lainnya. Dalam sejarah, iket menunjukan fungsi pekerjaan seseorang, bukan kedudukan dan status seseorang di masyarakat dalam arti sempit.
Kenapa Namanya Iket?
Iket dalam bahasa Indonesia artinya ikat, mengikat, atau ikatan. Jika tidak ada ikatan maka iket tersebut maknanya batal. Sejarah iket sendiri sebenarnya belum ditelusuri secara khusus, hanya berdasarkan ucapan turun-temurun dari sepuh-sepuh Sunda tanpa bukti terulis yang cukup. Meski ada beberapa versi sejarah iket Sunda, namun secara garis besar makna dan filosofinya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.
Berdasarkan sejarahnya iket dibagi dua bagian besar yaitu iket bukun (iket baheula) dan iket kiwari (iket modern/iket praktis). Iket buhun adalah model iket yang direka oleh sesepuh zaman dulu di wilayah Pasundan dan dibentuk dari kain persegi empat yang dilipat dengan aturan khusus sehingga membentuk model-model iket seperti Barangbang Semplak, Julang Ngapak, Parekos Jengkol, Buaya Ngangsar, dan model-model iket yang biasa dipakai di kampung-kampung adat. Dalam sejarah iket, penamaan tersebut didasarkan pada model dan cara membentuk iket itu sendiri dimana setiap nama iket mengandung makna yang berbeda,
Berbeda dengan iket buhun, iket kiwari adalah model iket yang direka oleh orang-orang zaman sekarang yang bentuknya masih menyerupai bentuk dan model iket buhun (iket baheula) meskipun telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan perkembangan mode dan fashion. Perubahan paling signifikan terlihat pada warna, corak dan motif yang semakin bervariasi. Yang termasuk jenis iket buhun rekaan para leluhur di antaranya:
- Iket Barangbang Semplak
- Iket Julang Ngapak
- Iket Kuda Ngencar
- Iket Parekos Nangka
- Iket Parekos Jengkol
- Iket Parekos Gedang
Sedangkan yang termasuk iket kiwari rekaan budayawan dan seniman Sunda zaman sekarang di antaranya:
- Iket Candra Sumirat
- Iket Maung Leumpang
- Iket Hanjuang Nangtung
- Iket Praktis Parekos
- Iket Praktis Makuta Wangsa
- Iket Praktis Mancala Putra
- Iket Batu Kincir (rekaan Ki Dadang)
Menurut Ki dadang, iket identik dengan origami urang Sunda hanya saja yang dilipat bukan kertas seperti seni orang Jepang tetapi kain segi empat yang memiliki makna filosofi logis sesuai fungsi. "Lain kawas ayeuna iket teh ngan ukur dipake ubar jangar atawa ubar tiris", ujar Ki Dadang sambil bercanda. Kini untuk melestarikan seni budaya suku Sunda dan untuk menghargai sejarah para leluhur, iket mulai dibangkitkan lagi melalui beragam wadah seperti Komunitas Iket Sunda (KIS).
Dari keinginan sekelompok orang Sunda dari berbagai daerah yang tergabung dalam KIS untuk melestarikan budaya Sunda, lahirlah iket-iket kiwari rekaan para seniman Sunda zaman sekarang seperti Iket Makuta Wangsa, Iket Batu Kincir (Rekaan Ki Dadang sendiri) yangpada akhirnya lebih dikenal dengan sebutan iket praktis yakni iket siap pakai tanpa perlu dilipat, diikat, dan dipasang dari kain segi empat.
Iket Buhun di Wilayah Kerajaan
Makuta Wangsa adalah salah satu jenis iket rekaan kiwari yang berasal dari kata makhota bangsa hanya saja mahkota terbuat dari logam dan bahan perhiasan lainnya sedangkan iket terbuat dari kain. Dari sanalah timbul keinginan untuk membuat makhota dari kain sampai lahir beragam jenis iket dari turunan makuta wangsa seperti makuta purwa, makuta raga, dan yang lainnya hasil karya seniman dan budayawan Sunda sekarang. Menurut Ki Dadang, seratus tahun kemudian kita akan disebut sesepuh, leluhur, atau karuhun oleh turunan kita sendiri.
Sebenarnya berdasarkan sejarah iket Sunda, tidak boleh membuat iket praktis yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bentuk dan lipatan iket buhun. Jika tidak, maka bukan lagi iket namanya tetapi hanya ikat kepala biasa yang tidak mengandung makna filosofis seperti iket. Itu menurut Ki Dadang. Untuk membuat iket praktis sebaiknya dibuat dulu iket aslinya yaitu iket buhun (iket baheula), setelah itu barulah ditiru menjadi iket praktis yang dijahit. Dengan demikian sudah pasti jumlah sudut, jumlah lipatan, ikatan, dan bentuknya akan menyerupai iket buhun. Hal ini bertujuan untuk melestarikan seni budaya iket Sunda agar makna yang terkandung tetap lestari. Kalau saja iket praktis dibuat tanpa melihat iket buhun terlebih dahulu, maka nilai pelestariannya bisa berkurang atau bahkan bisa hilang sama sekali.
Meskipun iket praktis dibuat menyerupai iket buhun tetapi nama-nama iket sendiri tidak sama dengan nama iket buhun bahkan nama iket kiwari ini lebih identik dengan nama model. Iket praktis dibuat karena masih banyak orang Sunda yang tidak bisa melipat, mengikat, dan memasang iket dari kain segi empat yang dibentuk. Jadi dengan adanya iket praktis, pemakai dapat langsung mengenakan iket tanpa perlu melipat dan mengikat terlebih dahulu karena sudah dijahit.
Rekayasa iket kiwari banyak lahir dan bermula dari Pameungpeuk Kabupaten Bandung, kampung halaman Ki Dadang sendiri. Salah satu penggagas iket kiwari asal Pameungpeuk adalah Kang Herman, selain pelukis beliau adalah pengrajin bendo dan peci.
Hubungan dengan Bali
Di Bali iket dikenal dengan istilah Udeng (Udeng Bali), ini berhubungan dengan sejarah nusantara dan sesuai dengan peribahasa Sunda "Ti Bali Geusan Ngajadi". Bentuk udeng Bali sedikit berbeda dengan Iket Sunda. Berdasarkan sejarah iket menururt Ki Dadang, dulu lambang wilayah kesundaan itu adalah ayam jago. Bali bagian kepala sedangkan Sunda bagian Ekor (model iket Barangbang Semplak). Itu sebabnya bentuk udeng Bali lebih mirip bagian kepala Ayam Jago sedangkan iket Sunda mirip ekor ayam jago.
Lambang ayam sendiri sering kita lihat pada beragam motif batik dan ukiran meskipun hanya bagian kepala, sayap, atau ekornya saja. Jika disatukan Udeng Bali (Bagian Kepala), Parekos (Bagian Badan), dan Barangbang Semplak (Bagian Ekor) maka akan berebentuk Ayam Jago. Tibali Geusan Ngajadi.
Seperti halnya iket Sunda, udeng Bali juga terbuat dari bahan kain persegi simetris dimana cara melipat, cara mengikat, dan cara memasangnya membutuhkan keahlian khusus. Udeng Bali banyak diproduksi di daerah-daerah tertentu seperti di Karangasem. Di daerah tersebut dapat ditemukan rupa-rupa udeng Bali dalam beragam motif, warna, dan corak.
Udeng dapat dipakai dalam berbagai acara-acara resmi, aktivitas sehari-hari, dan dalam acara ritual peribadahan. Penggunaan udeng ketika beribadah bertujuan untuk mencegah adanya rambut rontok yang dapat melanggar kesucian pura. Udeng Bali yang sering digunakan untuk beribadah di pura adalah warna putih.
Bentuk udeng Bali mempunyai makna yakni sisi sebelah kanan yang lebih besar dan lebih tinggi dari sisi sebelah kiri menandakan bahwa manusia bersujud bakti atas dasar dama yakni darma sebelah kanan dan darma sebelah kiri.
Bersambung ......